Rabu, 13 November 2013

Cerpen : Titik Nolku


Sebenarnya aku sadar bahwa prasasti hidupku akan dimulai dari sini. Hari itu adalah hari dimana seluruh lulusan sekolah menengah ataupun sederajat di Indonesia mempertaruhkan mimpinya. Anehnya hari itu adalah hari dimana aku mengubah haluan hidupku dan berspekulasi dengan masa depanku. Teman-temanku heran dengan pilihanku bahkan keluargaku juga mempertanyakan pilihanku. Dalam hati aku hanya menjawab, “Yang jelas aku mempunyai alasan dibalik pilihanku ini!” Bukan alasan karena aku suka atau karena aku minat di jurusan itu ataupun di universitas itu. Tepatnya karena saat itu aku merasa betapa kerdilnya menghadapi dunia. Oke aku akui alasan itu adalah alasan paling pengecut yang pernah aku miliki. Tetapi, inilah aku. Remaja kelahiran kota kripik yang menyandang nama “Unik Febrianti” dengan alasan yang tidak masuk akal memutuskan untuk merantau dari desa ke kota gudeg. 
***
                Lambat laun, ternyata satu tahun telah berlalu di kota ini. Semua usahaku untuk menyesuaikan diri dan menyeimbangkan ritme hidup baruku disini, di kota ini, di Universitas ini dan di jurusan ini terbayar dengan mendapat IPK cumlaude. Tetapi ternyata, aku tidak menemukan kebahagiaan yang sempurna dengan IPK cumlaude itu. Eiits . . . tetapi jangan salah. Insya allah IPK itu barokah. Hanya saja aku berpikir ada banyak tanggung jawab di balik IPK cumlaude itu. Cukup ucapkan “alhamdulillah” dan selesailah bahagia hari itu. Saat itu juga, aku baru sadar ternyata hatiku masih belum disini.
“Kalau aku pindah jurusan gimana ya?pindah Universitas?”
“Hush ngomong apaan aku! Emangnya duit tinggal ngreok* kaya krikil!” (Semburat bahasa ngapak pun keluar dalam dialog negosiasi diriku).
“Tetapi gimana? Hatiku belum disini! Huuuhh . . .”
“Ayolah bertahan sedikit lagi kali aja kau akan temukan hatimu disini”
Ya wis lah. Sega wis dadi bubur, siki gari kepriwe caraku bae gawe bubur kue dadi bubur sing paling spesial,*”khas dengan logat medhoknya.
***
                Dalam perjalanan menuju tahun kedua kuliahku, dalam pencarian hatiku. Ada banyak hal baru, pengalaman baru, cara pandang baru dan tujuan baru aku temukan disini. Oke ini tempatku sekarang! Siapa aku bukan tergantung dimana aku, tetapi tergantung bagaimana aku! Figthing! :D
***
                Masih soal pencarian hati di kota ini. Tetapi, kali ini lebih sensitif dan kompleks. Setelah curhatan-curhatan yang aku hujamkan ke teman-teman dekatku. Berpuluh-puluh episod sampai mulutku berbuih. Hingga akhirnya, hari ini aku temukan kenyataan yang menamatkan cerita-ceritaku. Menyesakkan dan cukup membuat emosiku membuncah.
***
Pastilah tau kan? Cukup klasik dan ketebak banget. Apalagi kalau bukan masalah cinta dan hari itu aku membutuhkan teman untuk berbagi cerita. Aku pun mengunjungi salah satu teman dekatku namanya Husna. Berharap banget dia bisa menghiburku. Setiba disana.
“Kau tahu?”, tanyaku pada Husna.
“Nggaklah orang kamu ngga ngomong, mana aku tahu,” jawabnya datar.
“Iya juga sih. Kan ceritanya biar suasananya terdramatisir,” jawabku polos.
“Ooh oke fine. Perlu ku ulangin dialognya?” tanya dia dengan muka datarnya.
“Ngga usah deh, ngga lucu juga”
“Terus mau curhat apa?,” seakan hafal banget kalau aku doyan curhat.
“Ngga jadi udahan ah . . . “
“Serius nih? Ntar nyesel loh?”
“Iya, aku pulang ya? Bye . . .”
***
Setengah lunglai aku menapaki jalan pulang. Tetapi, masih ada harapan di hatiku. Harapan menemukan teman untuk berbagi cerita.
Ahaaa . . . aku tau! (senyum nyengir menemukan mangsa).
“Lebih baik aku ke tempat Diah aja ah.”
Setiba disana, “Huaaaa . . . tau ngga Nik”
“Kenapa?,” tanyaku heran.
“Uang bulananku habis!”
“Terus?’Mau ku pinjemin uang?”
“Mau banget. Aku lagi butuh banget nih. Boleh ya?” (Transaksi pun akhirnya berlangsung)
“Ini nih tingkah sok baikku yang terkadang malah merepotkan diri sendiri,” gumamku dalam hati.
“Kamu ada perlu apa kesini, Nik?”
“Ngga ada apa-apa. Yaudah aku pulang yah, jangan boros-boros,” nasehatku setengah hati.
“Huuh. . . ngga ada yang ngerti hatiku nih,” keluhku setengah putus asa.
“Aku kan mau curhat. Eeehh aku malah dijutekin dan yang kedua aku malah mendadak jadi tukang kredit.”
“Hmm . . . ayo berpikir keras,” kataku dalam hati.
“ Oiya masih ada Nanda!” setiba di kos Nanda.
 “Kebetulan banget Nik kamu datang kesini,” sambutnya penuh senyum mencurigakan.
“Sepertinya ada yang tidak beres nih. Haduh kali ini apalagi?,” kataku dalam hati.
“Anterin aku ke toko buku sekaligus belanja bulanan yuk? Bentar aku ambil helm dulu.”
“Tuhh . . .kan bener. Tanpa ba-bi-bu. Tanpa jawaban dariku. Dia langsung main action aja. Betapa kecunya hatiku,” kutukku dalam hati.”
Setelah selesai semua urusannya dan tetap saja urusan pencarian tempat curhatku belum terselesaikan. Aku pun memutuskan bahwa pencarian tadi adalah pencarian terakhirku seusai menjadi tukang ojek untuk temanku. Aku pun pulang dengan langkah terseok.
***
                Setiba di kos, kurebahkan tubuhku di pembaringan. Hatiku panas dan menguaplah semua emosiku. Bak siklus hujan ada evaporasi, kondensasi dan akhirnya hujan alias nangis mewek-mewek. Setelah puas menangis. Negosiasi diripun terjadi.
“Apaan sih. Ngga penting banget aku nangis!”
“Siapa dia? Ngapain juga aku nangisin dia!
“Apa untungnya buatku” (Kapitalis banget nih :D)
“Cukup sampai disini main layang-layangnya!”
“Cukup. Sudah cukup dia menarik ulur hatiku!”
“Udahan aah, sholat dulu!” (beranjak dan mengambil air wudhu).
Dan masih dalam keadaan bersimpuh lengkap dengan kedamaian seusai sholat. Aku mewek lagi. “Huaaaaa . . .”
“Ternyata DIA yang aku butuhkan dan pencarian hatiku pun aku putuskan untuk ku sandarkan pada-NYA”
***
                Sangat yakin akan ku temukan hatiku di kota ini, di Universitas ini, di jurusan ini. Hanya disini. Hanya yakin, yakin, yakin, yakin, . . . dan yakin yang menguatkanku dan akan menemani pertahananku sampai akhir. Hari ini juga adalah hari dimana aku memutuskan bahwa disini dan saat inilah titik nolku akan ku telusuri. Masih banyak dan perlu banyak belajar lagi tentang hidup termasuk atmosfer di dalamnya cinta, mencintai dan dicintai. Sangat yakin kota ini akan menahan hatiku dan memberikan sejuta alasan untuk ku bertahan disini.
*duit tinggal ngreok = uang tinggal ngambil
Ya wis lah =ya sudah lah
 Sega wis dadi bubur = nasi sudah menjadi bubur

 siki gari kepriwe carane nyong bae gawe bubur kue dadi bubur sing paling spesial = sekarang tinggal bagaimana caraku saja membuat bubur itu menjadi bubur yang paling spesial.

(Based on true story from 'unik')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar