Minggu, 28 April 2013

FSE : Sudah Sukseskah Pendidikan Indonesia ?


FSE #2

Forum Study Ekonomi (FSE) sesion 2 kembali diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi pada tanggal 25 April 2013. Pada kesempatan ini FSE memuatt tema “Sudah Sukseskah Pendidikan Indonesia ?” dengan dua pembicara yaitu Prof. Suyanto, Ph. D. Dan Riska Dwi Astuti.
Berbeda dengan forum lainnya di FSE diadakan diskusi dari dua perspektif yaitu dari perspektif mahasiswa dan pakar. Dari perspektif mahasiswa diwakili oleh Riska Dwi Astuti (mahasiswa Pendidikan Ekonomi 2011). Riska memaparkan berbagai hasil survei dari UNESCO dimana pendidikan Indonesia menempati urutan ke 69 dari 127 negara sedangkan negara tetangga seperti Malaysia berada di urutan 65 dan Brunei Darussalam di urutan 35. Hal tersebut sedikit banyak menggambarkan keadaan pendidikan Indonesia yang belum maju karena disebabkan oleh faktor angka melek huruf rendah, angka partisipasi sekolah rendah dan angka putus sekolah yang juga sama-sama rendah. Ironisnya pendidikan di Indonesia terendah masih di dominasi oleh Indonesia wilayah Tengah dan Timur. Hal ini menandakan bahwa pendidikan Indonesia selain belum sukses juga belum merata hanya terpusat di Jawa, di Luar pulau Jawa banyak daerah tertinggal dan tidak terjamah oleh pendidikan. Riska juga menambahkan sekarang ini banyak mahasiswa yang tidak serius bila mengikuti perkuliahan padahal mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya menjadi panutan dan harapan yang besar bagi Indonesia. Riska juga mengajak semua peserta yang hadir di FSE bahwa mahasiswa bukan sekedar berkata “nyalakan cahaya” namun harus dengan bukti konkret di dunia pendidikan karena peran mahasiswa sangat dibutuhkan dan diharapkan oleh masyarakat Indonesia dan demi menuju Indonesia yang lebih baik.
Sesi kedua dibersamai oleh Prof. Suyanto, Ph. D (guru besar FE UNY,  mantan rektor UNY dan mantan dirjen manajemen dikdasmen kemendiknas RI). Senada dengan perspektif mahasiswa, beliau juga mempertanyakan apakah pendidikan kita sudah hebat ? melalui data yang diambil dari survei PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2009 menunjukkan bahwa dari 6 level hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara negara lain banyak yang sampai level 4, 5, bahkan 6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan sama, interpretasi dari hasil ini hanya satu, yaitu: yang diajarkan di Indonesai berbeda dengan tuntutan zaman atau  penyesuaian kurikulum belum berjalan lancar.
Data kedua diambil dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study). Hasil yang didapat dari kedua survei tersebut menunjukkan bahwa rata-rata siswa di Indonesia mempunyai tingkat curiositas atau keingintahuan rendah. Siwa tidak tahu apa tujuan yang diperoleh ketika mengambil mata pelajaran tertentu sehingga dalam proses belajar mengajar siswa tidak antusias. Sedangkan di negara maju tingkat curiositas siswa tinggi dan siswa menjadi sangat memahami pelajaran yang diberikan.
 Prof. Suyanto, Ph. D. Juga memaparkan satu-satunya cara yang efektif dalam membangun indeks pembangunan manusia adalah dengan pendidikan. Namun kendala yang dihadapi Indonesia adalah jumlah pelajar di Indonesia yang sangat banyak dan membutuhkan keseriusan dan dukungan dari semua pihak dari seluruh aspek masyarakat Indonesia (rodhiah).

Alfred Marshal


Elastisitas

Ilmu ekonomi biasanya dipandang sebagai ilmu teoritis dan sangat sulit bila diterapkan di dunia nyata. Namun apabila kita belajar lebih dalam lagi tentang ekonomi, ternyata ilmu yang satu ini sangat mudah bila diterapkan di kehidupan sehari-hari lohhh..
Misalnya saja konsep elastisitas. Biasanya elastisitas yang kita pelajari hanya unutk mengukur suatu barang dengan menghitungnya menggunakan rumus yang membuat kita bingung. Namun, sebenarnya mungkin nggak sih kalau konsep elastisitas diterapkan dalam kasus lain contohnya sebuah hubungan?
Pasti bisa !!!
Konsep elastisitas ini ditemukan oleh Alfred Marshal, beliau merupakan pendiri dari mazhab Cambridge dan sangat terkenal dengan kontribusinya pada bidang ilmu ekonomi diagram. Kalau kita sering lihat adanya kurva penawaran dan permintaan serta titik-titik keseimbagannya ya beliau itu yang pertama kali menggambarkannya.
Konsep elastisitasnya dapat kita jumpai disemua mata pelajaran ekonomi khususnya pengantar ilmu ekonomi dan ekonomi mikro.  Marshal menjelaskan bahwa semua hubungan ekonomi adalah hubungan sebab akibat. Gagasan elastisitas berusaha memastikan berapa banyak akibat yang dihasilkan oleh sebab tertentu. Ada beberapa jenis elastisitas antara lain :
1.       Elastis
Jika beberapa sebab kecil mengakibatkan akibat yang lebih besar berarti hubungan tersebut dikatakan elastis. Bila kita kaitkan dengan sebuah hubungan pacaran, apabila ada masalah kecil mengakibatkan pertengkaran hebat sampai jambak-jambakan, lempar-lemparan itu berarti hubungan pacaran tersebut bersifat elastis.
2.       Tidak elastis
Apabila sebab kecil menghasilkan akibat kecil hubungan tersebut bersifat tidak elastis. Jika masalah yang agak besar tetapi mengakibatkan pertengkaran kecil berarti hubungan pacaran bertipe tidak elastis.
3.       Elastis unitary
Dikatakan elastis unitary apabila sebab kecil menghasilkan akibat yang kecil juga. Sebuah hubungan dengan masalah kecil dan membuat pertengkaran kecil hubungannya bersifat elastis unitary.
4.       Elastis sempurna
Hubungan pacaran dapat dikatakan elsatis sempurna apabila masalah kecil atau besar yang berada pada satu titik saja tidak akan mempengaruhi pertengakaran/akibat apapaun. Tetapi apabila kadar masalah tersebut naik sedikit saja makan akan terjadi pertengakaran yang tidak terduga dan hubungan tersebut besar kemungkinannya untuk putus.
5.       Elastis tidak sempurna
Pertengkaran tetap berada pada satu titik meskipun dengan seberapa banyak masalah.  Namun jika tingkat pertengkaran naik sedikit hubungan tersebut juga besar kemungkinannya untuk putus.
Nah ellastisitas mana sih yang paling baik bagi sebuah hubungan pacaran ? tergantung pada sebabnya. Apabila sebab itu bersifat baik sebaiknya memilih jenis hubungan yang elastis. Jika  sebabnya buruk sebaiknya memilih jenis hubungan yang tidak elastis. Namun, jika ingin berda dalam zona aman jenis elastisitas unitary dapat menjadi pilihan yang tepat.
So,, hubunganmu cocok sama elastisitas yang mana ? (rodhiah).

Minggu, 21 April 2013

FSE : Mengurai Benang Kusut Century

FSE #1

Himpunan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Kamis (21/3), meggelar acara rutin tahunan Forum Studi Ekonomi( FSE). Acara tersebut menjadi program kerja rutin HIMA Pendidikan Ekonomi. Melalui kegiatan FSE ini mahasiswa dapat berdiskusi bersama dalam satu forum membahas isu-isu terhangat yang sedang terjadi di Indonesia. Pada FSE kali ini topik yang diangkat adalah ruetnya kasus Century yang hingga kini belum terselsaikan.
Hadir sebagai pembicara pertama mahasiswa Pendidikan Ekonomi Bagja Sumantri dan dosen Pendidikan Ekonomi UNY Supriyanto,M.M sebagai pembicara kedua. Antusiasme peserta terlihat dari banyaknya peserta yang hadir memadati Ruang Jamuan Fakultas Ekonomi UNY. Acara tersebut dihadiri oleh 80 peserta. Acara kali ini lebih menarik karena selain dihadiri oleh mahasiswa UNY khususnya Pendidikan Ekonomi, Mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia(UII) juga ikut hadir dalam forum tersebut.
Pada sesi pertama Bagja Sumantri memaparkan sejarah dan kronologis kasus Century dari prespektif mahasiswa. Sedangkan pada sesi kedua, Supriyanto,M.M mengulas kasus tersebut dari 3 parameter ekonomi, politik, dan hukum. Forum ini semakin menarik saat sesi diskusi berlangsung. Peserta semakin larut dalam diskusi yang dilakukan dengan pembicara. Usai acara tersebut peserta semakin terbuka wawasanya mengenai ekonomi politik di Indonesia khususnya Kasus Century. Pada akhir acara diskusi  Supriyanto,M.M mengatakan bahwa mahasiswa semestinya lebih aktif dan tidak terlelap dalam sistem yang ada sekarang ini.
Melihat suksesnya FSE 1 tahun 2013 ini, banyak pihak baik itu mahasiswa maupun pembicara mengharapkan Forum tersebut digelar kembali agar nantinya mahasiswa lebih aktif dan lebih tanggap terhadap masalah-masalah yang ada di sekitarnya (ar). 

Sabtu, 20 April 2013

IP 4,00

Siapa Mau?


Mahasiswa mana yang tidak ingin mendapatkan IP (indeks Prestasi) tinggi? Dengan atmosfer pendidikan negeri ini yang lebih mengutamakan sisi kognitif, IP bagaikan objek sacral yang ditunggu-tunggu kabar baiknya setelah menempuh ujian semester. Tinggi-rendahnya IP bisa dijadikan ajang gengsi mahasiswa dalam melaporkan hasil studinya terhadap orang tua.

Tetapi kawan, tidak sedikit kita menjumpai teman kita yang memiliki IP paling tinggi di kelas tetapi kurang dapat mentrasfer hasil yang ia dapatkan terhadap orang lain. Malahan kita lebih paham diberi penjelasan oleh orang yang memiliki IP rata-rata *ooops. Namun di sisi lain, orang yang yang mempunyai IP dibawah rata-rata memiliki skill yang mempunyai nilai jual yang tinggi. Wah wah..

Saya tidak sedang menyindir seseorang atau apa. Tapi inilah fenomena dalam pendidikan kita. Dari kecil
hingga dewasa, kita dijejali dengan pendidikan yang lebih mengutamakan kegunaan otak kanan daripada otak kiri. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula penggunaan otak kiri. Bahkan ditengah keprihatinan ini, seorang Pakar Otak Kanan, Ippho Santosa menggembor-gemborkan pentingnya mengasah otak kanan dalam meraih kesuksesan.
 
Bagi calon seorang pendidik, IP tinggi itu penting guna meningkatkan motivasi peserta didik. Namun kemampuan untuk mestransfer ilmu yang dimiliki kepada siswalah yang paling penting. Seperti kata Albert Einstein, “if you can’t explain it, you don’t understand it well enough”. Untuk apa seorang pendidik mempunyai IP tinggi tetapi tidak dapat menjelaskan pengetahuan yang dibutuhkan peserta didik *makjleb.

Sudahlah… Anda tidak perlu bersikukuh bahwa IP segalanya. Apalagi berusaha mati-matian mendapatkan IP tinggi dengan mencontek. Bah, mahasiswa apaan? Memalukan orangtua yang dirumah saja #padahalorangtuadiapartemen. Ingat kata Anies Baswedan, IP tinggi merupakan gerbang menuju pintu wawancara kerja, Namun skill leadershiplah yang membuat kita memenangkan wawancara kerja dan meraih masa depan. Lagi-lagi yang disoroti adalah kemampuan kita untuk mengelola kecerdasan emosi kita, bukan kecerdasan intelektual kita.

Bahkan para mertua di luar sana tidak mematok “menantu idaman adalah lulusan yang mempunyai IP 4”. Halah, kata siapa? Wahai mahasiswa ber IP dibawah sempurna, janganlah berkecil hati. Anda masih layak kok jadi menantu hihihi.

Inilah beberapa fakta mengenai IP menurut à orang lewat *busssyeet* :
Pertama, IP hanyalah IP. Manamungkin IP berubah menjadi ID atau kurva IS (LM). *gakpentingbanget*

Kedua, Perusahaan butuh skill Anda, bukan tingginya IP Anda. Berbahagialah wahai mahasiswa berIP dibawah sempurna. Asahlah skill Anda mulai dari sekarang dengan cara perbanyak kegiatan kampus dan bersosialisasi dengan lingkungan. Karena 80% penyumbang kesuksesan hidup Anda tergantung dari manajemen kecerdasan emosi Anda, sedangkan sisanya berasal dari kecerdasan intelektual Anda. Ini bukan kata saya.

Ketiga, IP bukanlah harga mati penentu kecerdasan mahasiswa. Ya iyalah, emang ada test IP? Pakainya test IQ kaleee.

Keempat, dalam job vacancy batas IP merupakan syarat ke sekian setelah jenis pekerjaan yang ditawarkan, jenis kelamin, umur dan derajat pendidikan. Mana ada syarat pertama melamar IP=4,0? Apaaaaaa ini? Pekerjaan apa juga belum jelas malah berbicara IP=4,0 sebagai syarat. Hehehe.

Kelima, ‘berapa besar IPmu’ bukanlah pertanyaan malaikat di akhirat. Kata pak Ustad, pertanyaan malaikat setelah manusia meninggal antara lain : siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Apa kitabsucimu? dsb. Jadi selow wae lah mbak brooo mas brooo.

Kurang lebihnya seperti itu tweeps. IP bukanlah segalanya bagi mahasiswa. Meskipun dengan IP mahasiswa bisa melakukan segalanya. Nah, sebagai penutup dari tulisan ini saya sajikan saran untuk meraih IP tinggi *bagi yang mau aja* ala seseorang yang saya kagumi.

“Hm… saya sih kalau mau ujian belajarnya dua minggu sebelum ujian. Terus kalo dosen ngomong terus saya catet di buku. Kadang kalau saya bosen, saya main. Soalnya saya tidak aktif dalam kegiatan kampus. Kalau malas belajar, saya akan mengingat orangtua saya. Kalau susah belajar karena tidak suka dengan mata kuliah atau dosennya, saya akan tetap paksakan untuk belajar. Nanti lama-lama juga suka. Begitulah kira-kira.” Ujar Mahasiswa yang saya kagumi itu.

Gimana tweeps, sanggup? Memang hidup harus memiliki obsesi guys. Obsesi ingin lulus cumlaude dengan IP memuaskan itu boleh-boleh aja tweeps. Tapi ingat, itu hasil akhir dari proses kita selama kuliah. Yang jadi pertanyaan adalah : “apakah kita melewati proses kuliah ini dengan sempurna?”. Yang terpenting adalah nikmatilah proses belajar kalian sekarang tweeps. Hasil merupakan penghargaan dari usaha yang selama ini kita lakukan. Kalau ingin hasilnya bagus, kita juga harus benar-benar memaksimalkan dan meresapi proses yang kita lalui agar berkesan dan tahan lama. Tetap semangat, ya! :D (thi)

Mencontek gak yaa…

Mencontek?

Siapa yang tidak asing dengan aktivitas mencontek? Rasa-rasanya mencontek telah dikutuk menjadi budaya yang mengakar pada masyarakat Indonesia. Isu mencontek menjadi perbincangan yang tidak pernah jenuh di negeri ini, apalagi ketika ujian berlangsung. Mencontek bagaikan virus yang menggerogoti kemampuan individu untuk mengambangkan kemampuan dirinya. Mencontek dapat dilakukan dengan cara membawa kepekan, tanya jawaban maupun melihat jawaban teman.
Mencontek menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan semua Negara. Bahkan Harvard University menskors 60 Mahasiswa akibat mencontek seperti yang dikutip oleh Republika.co.id (02/02/2013). Mirisnya lagi, mahasiswa calon guru di berbagai Universitas di Indonesia pun mencontek ketika ujian berlangsung. Meskipun hal ini kurang di eskpos dalam media massa. Padahal mereka adalah agen yang diharapkan mampu membawa pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Tindakan mencontek dapat berasal dari ketidaksiapan individu dalam menghadapi ujian. Penguasaan materi yang kurang mengikis rasa percaya diri mereka dalam mengerjakan ujian. Apalagi dengan target pencapaian nilai tinggi yang menghantui siswa untuk mendapatkan nilai bagus, mencontek menjadi alternatif yang digemari. Keleluasaan untuk mencontek pada saat ujian menambah peluang terjadinya praktek percontekan di dunia pendidikan.
Apalah arti nilai B jika hasil dari mencontek. Mending mendapatkan nilai A dengan hasil jerih payah sendiri. Hehehe. Tidak ada yang patut dibanggakan dari nilai hasil mencontek. Karena itu bukan hasil usaha sendiri.
Praktek percontekan semakin kontroversial seiring lumrahnya masyarakat terhadap kasus ini. Masyarakat yang kontra mencontek menjadi minoritas yang terasing dalam negeri ini. Contohnya saja Ria, Mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja ini sempat merasa hina karena tidak mencontek. Loh, harusnya kan kebalikannya? Apa-apaan ini! “Saya merasa terkucilkan saat Ujian Nasional SMA dulu. Teman-teman yang mencontek seakan menjauhi saya karena saya tidak mencontek dan menconteki mereka. Padahal kan saya hanya berusaha berjalan di jalan yang lurus?” ujar gadis itu. Dia menganggap kalau pertanggungjawaban nilainya harus berasal dari jerih payahnya sendiri. Dia juga menganggap kalau mencontek itu perbuatan yang berdosa.
Namun bagi masyarakat yang pro mencontek, mereka menganggap bahwa mencontek adalah dosa putih guna menyelamatkan perekonomian negeri. Loh kok bisa? Pertama, mencontek dapat membantu meluluskan siswa dari pendidikan sehingga tidak semakin memberatkan beban orang tua. Padahal menurut orang yang kontra mencontek, mereka malah membebani Negara. Lulusan hasil ‘praktek percontekan’ tidak sepenuhnya mengalami pendidikan sehingga berpotensi menjadi tenaga kerja yang kurang berkualitas. Mengalami berbeda dengan merasakan. Di sisi lain, tenaga kerja kerja yang kurang berkualitas memiliki produktivitas kerja yang rendah.
Kedua, mencontek adalah dosa putih yang perlu dimaklumi. Karena opportunity cost nya lebih besar. Kalau mencontek kan nilainya lebih bagus, ahirnya menyengkan perasaan orang tua. Kalau orang kontra mencontek bilang : “Haaaah? Macam mana pulak rupanya!” Niatnya sih bener membahagiakan, tapi caranya yang salah. Bisa dikatakan opportunity dosanya juga besar soalnya sudah menyangkut orang tua.
Ketiga, mencontek itu hal yang lumrah dilakukan oleh siapa saja. Bahkan pemerintah juga bisa mencontek keputusan presiden dari luar negeri. Dan akhirnya orang kontra mencontek akan menanggapi : “orang salah kok ditiru. Kapan benernya? Jadi, kalau ada orang minum susu sambil salto juga ikut? Ababil banget sih :B”.
Keempat, mencontek dapat mengasah otak kanan. Karena mencontek perlu kreativitas usaha agar tidak ketahuan. Pelaku perlu gonta-ganti gaya mencontek untuk mengelabuhi pengawas ujian. Mencontek juga menerapkan prinsip manajemen agar efektif dan efisien. Ujung-ujungnya orang kontra mencontek menyeletuk “memangnya kreativitas mencontekmu dapat menjamin suksesnya karirmu? Yang ada mencontek malah meningkatkan potensi serangan jantung. Bukannya memikirkan apa yang keluar pas ujian malah bingung mencari cara untuk mencontek. Dasar!“
Sudah-sudah. Mencontek atau tidak itu masalah hati nurani. Orang yang dekat dengan sang Pencipta pasti hati Nuraninya selalu mengajak untuk berbuat kebaikan. Toh, dosa mencontek ditanggung oleh pelaku sendiri. Mencontek atau tidak adalah pilihan. Pilihan untuk membuat perubahan atau meneruskan kesalahan. Tuhan Maha Tahu apa yang kita lakukan di dunia. Bahkan tidak ada satupun daun jatuh kecuali dengan kehendakNya. Hanya kitalah pemimpin bagi ruh kita J (thi)