Mahasiswa mana yang tidak ingin mendapatkan IP
(indeks Prestasi) tinggi? Dengan atmosfer pendidikan negeri ini yang lebih
mengutamakan sisi kognitif, IP bagaikan objek sacral yang ditunggu-tunggu kabar
baiknya setelah menempuh ujian semester. Tinggi-rendahnya IP bisa dijadikan
ajang gengsi mahasiswa dalam melaporkan hasil studinya terhadap orang tua.
Tetapi kawan, tidak sedikit kita menjumpai teman
kita yang memiliki IP paling tinggi di kelas tetapi kurang dapat mentrasfer
hasil yang ia dapatkan terhadap orang lain. Malahan kita lebih paham diberi
penjelasan oleh orang yang memiliki IP rata-rata *ooops. Namun di sisi lain,
orang yang yang mempunyai IP dibawah rata-rata memiliki skill yang mempunyai
nilai jual yang tinggi. Wah wah..
Saya tidak sedang menyindir seseorang atau apa.
Tapi inilah fenomena dalam pendidikan kita. Dari kecil
hingga dewasa, kita dijejali dengan pendidikan yang
lebih mengutamakan kegunaan otak kanan daripada otak kiri. Semakin tinggi
pendidikan semakin tinggi pula penggunaan otak kiri. Bahkan ditengah
keprihatinan ini, seorang Pakar Otak Kanan, Ippho Santosa menggembor-gemborkan
pentingnya mengasah otak kanan dalam meraih kesuksesan.
Bagi calon seorang pendidik, IP tinggi itu penting
guna meningkatkan motivasi peserta didik. Namun kemampuan untuk mestransfer
ilmu yang dimiliki kepada siswalah yang paling penting. Seperti kata Albert
Einstein, “if you can’t explain it, you
don’t understand it well enough”. Untuk apa seorang pendidik mempunyai IP
tinggi tetapi tidak dapat menjelaskan pengetahuan yang dibutuhkan peserta didik
*makjleb.
Sudahlah… Anda tidak perlu bersikukuh bahwa IP segalanya.
Apalagi berusaha mati-matian mendapatkan IP tinggi dengan mencontek. Bah,
mahasiswa apaan? Memalukan orangtua yang dirumah saja #padahalorangtuadiapartemen.
Ingat kata Anies Baswedan, IP tinggi merupakan gerbang menuju pintu wawancara
kerja, Namun skill leadershiplah yang membuat kita memenangkan wawancara kerja
dan meraih masa depan. Lagi-lagi yang disoroti adalah kemampuan kita untuk
mengelola kecerdasan emosi kita, bukan kecerdasan intelektual kita.
Bahkan para mertua di luar sana tidak mematok “menantu
idaman adalah lulusan yang mempunyai IP 4”. Halah, kata siapa? Wahai mahasiswa
ber IP dibawah sempurna, janganlah berkecil hati. Anda masih layak kok jadi
menantu hihihi.
Inilah beberapa fakta mengenai IP menurut à
orang lewat *busssyeet* :
Pertama, IP
hanyalah IP. Manamungkin IP berubah menjadi ID atau kurva IS (LM).
*gakpentingbanget*
Kedua,
Perusahaan butuh skill Anda, bukan tingginya IP Anda. Berbahagialah wahai
mahasiswa berIP dibawah sempurna. Asahlah skill Anda mulai dari sekarang dengan
cara perbanyak kegiatan kampus dan bersosialisasi dengan lingkungan. Karena 80%
penyumbang kesuksesan hidup Anda tergantung dari manajemen kecerdasan emosi
Anda, sedangkan sisanya berasal dari kecerdasan intelektual Anda. Ini bukan
kata saya.
Ketiga, IP
bukanlah harga mati penentu kecerdasan mahasiswa. Ya iyalah, emang ada test IP?
Pakainya test IQ kaleee.
Keempat, dalam
job vacancy batas IP merupakan syarat
ke sekian setelah jenis pekerjaan yang ditawarkan, jenis kelamin, umur dan
derajat pendidikan. Mana ada syarat pertama melamar IP=4,0? Apaaaaaa ini? Pekerjaan
apa juga belum jelas malah berbicara IP=4,0 sebagai syarat. Hehehe.
Kelima, ‘berapa
besar IPmu’ bukanlah pertanyaan malaikat di akhirat. Kata pak Ustad, pertanyaan
malaikat setelah manusia meninggal antara lain : siapa Tuhanmu? Apa agamamu?
Apa kitabsucimu? dsb. Jadi selow wae
lah mbak brooo mas brooo.
Kurang lebihnya seperti itu tweeps. IP bukanlah segalanya bagi mahasiswa. Meskipun dengan IP
mahasiswa bisa melakukan segalanya. Nah, sebagai penutup dari tulisan ini saya
sajikan saran untuk meraih IP tinggi *bagi yang mau aja* ala seseorang yang saya kagumi.
“Hm… saya sih kalau mau ujian belajarnya dua minggu
sebelum ujian. Terus kalo dosen ngomong terus saya catet di buku. Kadang kalau
saya bosen, saya main. Soalnya saya tidak aktif dalam kegiatan kampus. Kalau
malas belajar, saya akan mengingat orangtua saya. Kalau susah belajar karena
tidak suka dengan mata kuliah atau dosennya, saya akan tetap paksakan untuk
belajar. Nanti lama-lama juga suka. Begitulah kira-kira.” Ujar Mahasiswa yang saya kagumi itu.
Gimana tweeps,
sanggup? Memang hidup harus memiliki obsesi guys.
Obsesi ingin lulus cumlaude dengan IP
memuaskan itu boleh-boleh aja tweeps.
Tapi ingat, itu hasil akhir dari proses kita selama kuliah. Yang jadi
pertanyaan adalah : “apakah kita melewati proses kuliah ini dengan sempurna?”. Yang terpenting adalah nikmatilah proses belajar kalian sekarang tweeps. Hasil merupakan penghargaan dari usaha yang selama ini kita lakukan. Kalau ingin hasilnya bagus, kita juga harus benar-benar memaksimalkan dan meresapi proses yang kita lalui agar berkesan dan tahan lama. Tetap semangat, ya! :D (thi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar