Senin, 20 Oktober 2014

Blok Mahakam: Siapa yang Akan Menang?


Pertentangan tentang siapa operator yang selanjutnya akan memegang sumur gas dan minyak Blok Mahakam Kalimantan Timur, semakin menarik untuk diamati. Kontrak Kerja Sama (KKS) yang akan berakhir pada 31 Maret 2017 itu kini menuai banyak permasalahan dan kasus.
KKS pertama kali ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada 31 Maret 1997 dengan  Total E&P Indonesie (Perancis) dan Inpex Corporation (Jepang) untuk jangka waktu 30 tahun, yaitu sampai dengan 31 Maret 1997. Kemudian KKS kembali diperpanjang selama 20 tahun hingga kontrak akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017 nanti. Berdasarkan kontrak tersebut pula, Executive Vice President Exploration & Production Total SA, Christophe de Margerie, pada Juni 2007 telah mengajukan perpanjangan kedua kontrak Blok Mahakam kepada Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro. Namun pada waktu itu Menteri ESDM menolak untuk membicarakan kontrak karena dirasa masih terlalu dini.
Pada 2008, berdasarkan ayat 9 Pasal 28 PP No.35/2004 tentang hak Pertamina untuk mengajukan permohonan mengelola Wilayah Kerja yang habis masa kontrak, Pertamina menyatakan ketertarikkannya untuk mengelola Blok Mahakam. Sejak saat itu, pihak Pertamina dengan gencar menyatakan ketertarikan tersebut hingga September 2012. Namun hingga saat ini pemerintah masih belum memutuskan siapa yang akan menjadi operator selanjutnya untuk mengelola Blok Mahakam.
Dampak Jatuhnya Mahakam ke Tangan Asing
Saat ini sangat banyak organisasi masyarakat yang menentang keras perpanjangan kontrak Blok Mahakam kepada pihak asing. Hal tersebut tentunya tidak terjadi tanpa adanya dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Blok Mahakam pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Salah satu gerakan yang ikut andil menentang perpanjangan kontrak tersebut adalah Gerakan Nasional untuk Blok Mahakam (GNBM). Koordinator Gerakan Nasional untuk Blok Mahakam A Rivai AG menjelaskan selama Total dan Inpex menjadi pengelola Blok Mahakam, rakyat Kalimantan Timur tidak mendapat dampak positifnya secara maksimal. Selain masyarakat harus antre dalam membeli bahan bakar minyak (BBM), masyarakat di area sekitar Blok Mahakam juga tidak sejahtera. Memang pihak Total dan Inpex telah memberikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Namun jumlahnya tidak signifikan karena masyarakat juga tidak mendapat dampak positifnya.
Selain dari segi sosial masyarakat, jatuhnya Blok Mahakam ke tangan asing juga dapat kita amati dari segi ekonomi. Blok Mahakam hingga saat ini memiliki rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar 100 miliar dollar AS. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf dengan harga gas yang terus naik, Blok Mahakam berpotensi pendapatan kotor 187 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1,7 triliun. Terbayanglah berapa triliun sesungguhnya kerugian yang sebenarnya kita alami dengan jatuhnya Blok Mahakam ke tangan asing.
Kesiapan dan Ketidakyakinan Pemerintah
Kebutuhan untuk melakukan pengelolaan blok Mahakam, tidak hanya kepemilikan secara financial, tetapi juga kemampuan sumberdaya manusia dan teknologi untuk melakukan eksplorasi dan ekspoloitasi tambang migas ini.
Sikap pemerintah yang terjebak pada dua rumusan diatas, ternyata memiliki sikap pesimistik dan ambivalen terhadap kemampuan Perusahaan Nasional, khususnya terhadap Pertamina sebagai perusahaan Migas yang leading pada sektornya.
Sikap ini disampaikan melelui Menteri ESDM RI, atas kekhawatirannya terhadap realitas dilapangan bisnis migas di Blok Mahakam, dimana perkiraannya memberikan pernyataan bahwa kebutuhan pengeloaan blok Mahakam tidak hanya kemampuan finasial, namun juga sumberdaya manusia dan teknologi.
Sementara Pertamina melalui Dirutnya menyatakan kesiapannya bila harus mengambil alih blok terserbut. Dengan asumsi bahwa pertamina telah memiliki pengalaman dalam melakukan akuisisi terhadap perusahaan tambang seperti yang dilakukan pada perusahaan Medco di (Blok) Sanga-Sanga dan ONWC.
Mengukur kekuatan Pertamina untuk mengambil alih blok Mahakam tidak 100%, hal ini terkait dengan kemampuan perseroan. Namun demikian harapan Pemerintah agar pertamina mendapatkan jatah hingga mencapai 40% semestinya sudah menjadi titik terang, agar negoisasi dengan kedua pengelola raksasa ini segera bisa diambil keputusan oleh Pemerintah selaku penguasa, sekarang persoalan berikutnya menunggu sampai kapan lagi, agar keputusan ini dapat memberikan jawaban atas segenap tuntutan rakyat, khususnya bagi masyarakat Kaltim.
 source:


Blok Mahakam: Siapa yang Akan Menang?


Pertentangan tentang siapa operator yang selanjutnya akan memegang sumur gas dan minyak Blok Mahakam Kalimantan Timur, semakin menarik untuk diamati. Kontrak Kerja Sama (KKS) yang akan berakhir pada 31 Maret 2017 itu kini menuai banyak permasalahan dan kasus.
KKS pertama kali ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada 31 Maret 1997 dengan  Total E&P Indonesie (Perancis) dan Inpex Corporation (Jepang) untuk jangka waktu 30 tahun, yaitu sampai dengan 31 Maret 1997. Kemudian KKS kembali diperpanjang selama 20 tahun hingga kontrak akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017 nanti. Berdasarkan kontrak tersebut pula, Executive Vice President Exploration & Production Total SA, Christophe de Margerie, pada Juni 2007 telah mengajukan perpanjangan kedua kontrak Blok Mahakam kepada Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro. Namun pada waktu itu Menteri ESDM menolak untuk membicarakan kontrak karena dirasa masih terlalu dini.
Pada 2008, berdasarkan ayat 9 Pasal 28 PP No.35/2004 tentang hak Pertamina untuk mengajukan permohonan mengelola Wilayah Kerja yang habis masa kontrak, Pertamina menyatakan ketertarikkannya untuk mengelola Blok Mahakam. Sejak saat itu, pihak Pertamina dengan gencar menyatakan ketertarikan tersebut hingga September 2012. Namun hingga saat ini pemerintah masih belum memutuskan siapa yang akan menjadi operator selanjutnya untuk mengelola Blok Mahakam.
Dampak Jatuhnya Mahakam ke Tangan Asing
Saat ini sangat banyak organisasi masyarakat yang menentang keras perpanjangan kontrak Blok Mahakam kepada pihak asing. Hal tersebut tentunya tidak terjadi tanpa adanya dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Blok Mahakam pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Salah satu gerakan yang ikut andil menentang perpanjangan kontrak tersebut adalah Gerakan Nasional untuk Blok Mahakam (GNBM). Koordinator Gerakan Nasional untuk Blok Mahakam A Rivai AG menjelaskan selama Total dan Inpex menjadi pengelola Blok Mahakam, rakyat Kalimantan Timur tidak mendapat dampak positifnya secara maksimal. Selain masyarakat harus antre dalam membeli bahan bakar minyak (BBM), masyarakat di area sekitar Blok Mahakam juga tidak sejahtera. Memang pihak Total dan Inpex telah memberikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Namun jumlahnya tidak signifikan karena masyarakat juga tidak mendapat dampak positifnya.
Selain dari segi sosial masyarakat, jatuhnya Blok Mahakam ke tangan asing juga dapat kita amati dari segi ekonomi. Blok Mahakam hingga saat ini memiliki rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar 100 miliar dollar AS. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf dengan harga gas yang terus naik, Blok Mahakam berpotensi pendapatan kotor 187 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1,7 triliun. Terbayanglah berapa triliun sesungguhnya kerugian yang sebenarnya kita alami dengan jatuhnya Blok Mahakam ke tangan asing.
Kesiapan dan Ketidakyakinan Pemerintah
Kebutuhan untuk melakukan pengelolaan blok Mahakam, tidak hanya kepemilikan secara financial, tetapi juga kemampuan sumberdaya manusia dan teknologi untuk melakukan eksplorasi dan ekspoloitasi tambang migas ini.
Sikap pemerintah yang terjebak pada dua rumusan diatas, ternyata memiliki sikap pesimistik dan ambivalen terhadap kemampuan Perusahaan Nasional, khususnya terhadap Pertamina sebagai perusahaan Migas yang leading pada sektornya.
Sikap ini disampaikan melelui Menteri ESDM RI, atas kekhawatirannya terhadap realitas dilapangan bisnis migas di Blok Mahakam, dimana perkiraannya memberikan pernyataan bahwa kebutuhan pengeloaan blok Mahakam tidak hanya kemampuan finasial, namun juga sumberdaya manusia dan teknologi.
Sementara Pertamina melalui Dirutnya menyatakan kesiapannya bila harus mengambil alih blok terserbut. Dengan asumsi bahwa pertamina telah memiliki pengalaman dalam melakukan akuisisi terhadap perusahaan tambang seperti yang dilakukan pada perusahaan Medco di (Blok) Sanga-Sanga dan ONWC.
Mengukur kekuatan Pertamina untuk mengambil alih blok Mahakam tidak 100%, hal ini terkait dengan kemampuan perseroan. Namun demikian harapan Pemerintah agar pertamina mendapatkan jatah hingga mencapai 40% semestinya sudah menjadi titik terang, agar negoisasi dengan kedua pengelola raksasa ini segera bisa diambil keputusan oleh Pemerintah selaku penguasa, sekarang persoalan berikutnya menunggu sampai kapan lagi, agar keputusan ini dapat memberikan jawaban atas segenap tuntutan rakyat, khususnya bagi masyarakat Kaltim.
 source:


NOMINAL KERUGIAN AKIBAT BANJIR


            Dalam ekonomi, air dapat dikategorikan sebagai barang bebas karena seseorang dapat mendapatkannya dengan cuma – cuma. Selain itu air juga dapat dikatergorikan sebagai barang illith dimana jika jumlah air terlalu banyak yang di timbulkan adalah bencana seperti banjir. Inilah yang sedang terjadi di Jakarta dan di beberapa daerah lain. Penyebab banjir yang terjadi ini selain di karenakan curah hujan yang cukup tinggi juga di pengaruhi oleh penyempitan sungai, pendangkalan sungai, alih fungsi lahan dan belu optimalnya waduk maupun sumur resapan air.
            Banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya ini telah menimbulkan kerugian di beberapa sektor, sektor industri misalnya. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, kerugian sektor industri akibat bencana banjir yang melanda kawasan Jabodetabek saja beberapa waktu terakhir diperkirakan mencapai Rp100 miliar per hari. Sebenarnya untuk kawasa indstri sendiri tidak terendam banjir namun akses ke kawasan industri inilah yang terendam banjir. Akibatnya banyak karyawan yang datang terlambat sehingga proses produksi menjadi terhambat, belum lagi masalah keterlambatan bahan baku dan juga masalah pengiriman barang ke konsumen. Untuk masalah pengiriman ini tentu akan menjadi catatan yang buruk bagi suatu perusahaan jika pengirimanya terlambat.
            Selain kerugian pada sektor industri sektor pertanian juga mengalami hal yang sama. Menteri Pertanian Suswono dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, menyebutkan sejak Oktober 2013 hingga Januari 2014 total areal terkena banjir seluas 240.683 hektare dan mengalami kerugian hingga mencapai Rp. 2,54 triliun akibat banjir selama Oktober 2013- Januari 2014. Dari angka tersebut kerugian terbesar ada pada tanaman padi yang mengalami kerusakan seluas  235.543 hektare.

            Dari kerugian sektor industri, sektor pertanian dan  jika di tambah dengan kerusakan infrastruktur akibat banjir yang terjadi di tahun 2014 saja kerugian di taksir mencapai 50 triliun. Harry Azhar Azis Wakil Ketua Komisi XI DPR RI mengatakan kerugian pemerintah yang di akibatkan oleh banjir yang terjadi sejak Januari 2014 di perkirakan mencapai 50 triliun. Harry juga mengatakan jika lebih dari seratus daerah baik di Jakarta dan di luar Jakarta juga mengalami musibah banjir. Dari semua daerah yang terkena bencana banjir tersebut di asumsikan memerlukan dana sekitar Rp 50- 100 miliar untuk perbaikan serta pemulihan pasca banjir.

PPG dan Hubungannya Terhadap Perekonomian


Dengan terjadinya perubahan yang sangat cepat dalam segala aspek kehidupan akibat dari gelombang globalisasi termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentu memunculkan serangkaian tantangan baru yang perlu disikapi dengan cermat dan sistematis. Secara khusus, perubahan tersebut berdampak terhadap tuntutan akan kualitas pendidikan secara umum, dan kualitas pendidikan guru secara khusus untuk menghasilkan guru yang profesional.
Untuk menghadapi tuntutan tersebut dibentuklah suatu progam pendidikan yang disebut Pendidikan Profesi Guru (PPG). Di mana program ini diberikan untuk para sarjana pendidikan atau diploma 4 yang bukan berasal dari jurusan pendidikan namun memiliki bakat serta minatnya untuk menjadi guru.
Tujuan umum dari PPG sendiri adalah untuk menghasilkan para calon guru yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan serta standar nasional dalam masalah pendidikan dan untuk memperoleh sertifikat sebagai pendidik serta mengangkat harga guru sebagai orang yang profesional.
Tujuan khususnya sendiri sesuai dengan permendiknas dengan nomor 8 tahun 2009, adalah untuk mengembangkan profesionaltias secara berkala dan berkelanjutan, menghasilkan guru yang memiliki berbagai kompetensi dalam pelaksanaan serta perancangannya, menilai evaluasi belajar, memberikan bimbingan serta pelatihan kepada murid ketika sedang melakukan penelitian, dan terakhir menindaklanjuti hasil penilaian dari kegiatan belajar berlangsung.
Dalam pelaksanaanya sendiri terdiri dari 11 tahap, yaitu :
1.      Menyusun rencana induk pengembangan program Pendidikan Profesi Guru (PPG)
2.      Mengembangkan standar kompetensi lulusan, kurikulum, sistem pembelajaran, dan PPL program PPHG bersama dengan jurusan dan atau program studi yang sejenis.
3.      Melaksanakan rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa program PPG
4.      Menyeleksi dan menetapkan dosen mahasiswa program PPG
5.      Melaksanakan program PPG yang bermutu
6.      Melaksanaan standarisasi sistem seleksi
7.      Melaksanakan uji kompetensi dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait.
8.      Melaksanakan evaluasi diri dan penjaminan mutu program PPG
9.      Menjalin kerjasama dengan sekolah mitra dalam penyelenggaraan program PPG yang diwujudkan dalam nota kesepahaman.
10.  Menyeleksi calon guru pamong
11.  Melaporkan hasil uji kompetensi kepada direktur jenderal.
Pendidikan profesionalisme guru memiliki syarat dan ketetapan.
1.      Harus mempunyai kualifikasi akademik sarjana atau minimal diploma empat dari prodi atau program studi yang telah terakreditasi, kecuali untuk prodi PGPAUD dan PGSD.
2.      Mau mengajar pada satuan pendidikan yang berada dibawah naungan kementrian pendidikan nasional.

3.      Menjadi guru PNS untuk mengajar dalam satuan pendidikan yang telah diselenggarakan pemerintah daerah atau menjabat sebagai guru yang akan dipekerjakan dengan satuan pendidikan namun yang menyelenggarakan adalah masyarakat. Guru non PNS sebagai guru tetap dalam naungan yayasan, memiliki NUPTK dan memiliki masa kerja minimal lima tahun sebagai guru. 

Selamat Datang Undang – Undang Pertambangan Mineral dan Batubara


12 Januari kemarin, Indonesia  mulai terapkan UU No. 4 Tahun 2009.
Tentang apakah itu? Dampak apa saja yang terjadi bila UU tersebut diberlakukan?
Antara nasionalisme dan profesionalisme dalam bisnis. Kata-kata tersebut adalah tagline yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca. Semoga pembaca mengerti akan keadaan pertambangan yang sesungguhnya ada di Indonesia sebelum dan sesudah adanya UU No. 4 Tahun 2009.
Peta diatas menunjukkan kepemilikan negara lain atas wilayah pertambangan yang ada di Indonesia. Sungguh mencengangkan bukan? Coba bayangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia jika sudah di kuasai sedemikian rupa. Terlebih jika barang hasil tambang yang akan diekspor berupa barang mentah. Tanpa di murnikan dan diolah terlebih dahulu melalui smelter, pasti sangat merugikan bangsa Indonesia bukan?.
Mulai tanggal 12 Januari 2014 pukul 00.00 WIB pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang melarang ekspor bahan mentah. Setelah pemberlakuan UU ini, pemerintah harus menjalankan secara penuh UU Minerba. Selain itu, Pemerintah juga harus siap mengantisipasi imbas kebijakan pelarangan ekspor tersebut.
Penerbitan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dipastikan akan berdampak pada pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 banyak mengandung hal-hal baru, karena terkait dengan otonomi daerah yang bertolak belakang dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang bersifat sentralistik.
Kegiatan pertambangan diatur dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk lebih merinci pelaksanaan dari Undang-undang ini diturunkan kembali dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang salah satunya adalah PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan PP ini komoditas pertambangan dikelompokkan dalam 5 golongan yaitu :
1.      Mineral radioaktif antara lain: radium, thorium, uranium
2.      Mineral logam antara lain: emas, tembaga
3.      Mineral bukan logam antara lain: intan, bentonit
4.      Batuan antara lain: andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, pasir urug
5.      Batubara antara lain: batuan aspal, batubara, gambut
Dari hasil survei terhadap beberapa daerah dan pelaku usaha, terbukti bahwa telah muncul permasalahan yang cukup bervariasi. Kondisi ini memerlukan penanganan secara lebih dini agar tidak terjadi permasalahan yang lebih besar, yang pada akhirnya berdampak negatif pada investasi di bidang pertambangan mineral dan batubara pada khususnya serta proses menyejahterakan masyarakat pada umumnya.
Sementara itu, dampak lain yang akan terjadi adalah penyelundupan. Pemerintah harus mengawasi seluruh lokasi yang dianggap rawan penyelundupan secara maksimal. Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam hal ini memiliki peran yang penting untuk mengawasi tempat yang rawan terhadap penyelundupan, baik ekspor maupun impor supaya mereka ditertibkan dari jumlah orang, dari manajemen, termasuk juga pelarangan ekspor Minerba.
Menanggapi  aturan pelarangan ekspor tambang mentah, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengaku tidak khawatir dengan kehilangan potensi pajak akibat penghentian ekspor tambang mentah. "Pajak pasti berkurang, tetapi jangan gara-gara itu kita nggak lakukan. Kita nggak mau mineral alam kita dikeruk habis-habis dan dibawa ke luar negeri dan diekspor. Penerimaan pajak berkurang itu nggak  masalah, kita bisa cari uang dari tempat lain, bukan hanya dari tambang," kata Dirjen Pajak.
Menurutnya, potensi kehilangan pajak dari adanya aturan tersebut tidak besar. Dirjen Pajak memperkirakan, potensi hilang pajak hanya sebesar Rp12 triliun hingga Rp13 triliun.  Dirjen Pajak menilai, aturan yang dibuat bersama oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut cukup baik, yang mana mensyaratkan barang tambang diolah terlebih dahulu di dalam negeri untuk menghasilkan nilai tambah, bukan diekspor dalam bentuk mentah.
Larangan ekspor mineral mentah RI juga akan mengancam industri global, Indonesia merupakan pemasok sumber daya alam terbesar dunia. Sebagai contoh penghentian ekspor bijih nikel. Penghentian ekspor bijih nikel ini bisa memicu guncangan terbesar dalam industri nikel global selama lebih dari lima tahun terakhir, terutama bagi pabrik-pabrik baja stainless yang membuat semua barang mulai dari peralatan dapur hingga mobil dan bangunan sebagai pihak yang akan paling keras terkena dampak kebijakan Indonesia.
Dampak lain yang bisa dibilang dampak positif dengan adanya pelarangan ekspor mineral mentah adalah akan menarik investasi tambang ke Indonesia. Pelarangan tersebut akan membuat pasokan di dalam negeri melimpah, sementara pasokan di luar negeri akan berkurang. Hal ini pada gilirannya akan menurunkan harga di dalam negeri, karena jumlah pembeli yang terbatas. Sebaliknya, pembatasan ekspor akan menaikkan harga komoditas di pasaran internasional. Jika harga input di Indonesia murah, sedangkan harga jual di pasar internasional mahal, maka investor akan menikmati keuntungan besar ketika menanamkan modal di Indonesia untuk memproses mineral.
Sedangkan jika dilihat dari sisi fiskal, kebijakan pelarangan ekspor mineral akan memberikan sedikit tekanan dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang pelarangan tersebut akan sangat membantu posisi neraca perdagangan. Hal senada diucapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) M. Chatib Basri “Pengaruhnya akan terasa memang untuk short term. Namun setelah 2016 atau 2017 ini akan sangat membantu posisi neraca perdagangan kita”jelasnya.
Sumber :
-Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
-Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

-http://www.esdm.go.id/

Politik Indonesia dan Hubungannya Dengan Kebijakan Perekonomian Bangsa


S
ebenarnya ekonomi dan politik adalah dua hal yang sangat tidak bisa disamakan ataupun disetarakan. Keduanya sangat berbeda jalan sesuai dengan fungsi dan tujuannya masing-masing. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman telah terbukti bahwa perekonomian dan perpolitikan saling berkaitan. Oleh karena itu, ada wacana yang bermunculan untuk menjadikan ekonomi politik sebagai sistem keilmuan. Pada dasarnya, ekonomi politik oleh pemerintah dijadikan sebagai alat untuk mengatur perekonomian negara. Karena pasar dianggap tidak mampu berkembang, sehingga pemerintah merasa perlu untuk ikut serta dalam perekonomian masyarakat. Seiring berjalannya waktu statement ini ditentang karena pemerintah dianggap kurang baik untuk mengatur kegiatan ekonomi.
Di Indonesia sendiri sangatlah banyak kesimpulan  dari realita bangsa yang dapat dijadikan pelajaran dalam merumuskan peran ekonomi dan politik itu sendiri. Ekonomi adalah suatu sistem yang berhubungan dengan sistem yang lainya. Kenyataannya adalah ketika terjadi peristiwa pada salah satu sistem negara, maka sistem perekonomian akan ikut menjadi korban selanjutnya. Ketika muncul permasalahan dari bidang pendidikan, pertahanan negara, konflik, bencana alam, hingga pada masalah politik suatu negara akan berpengaruh pada sistem perekonomian suatu negara tersebut. Sedangkan menurut Negara Indonesia itu sendiri, politik adalah sesuatu hal yang dapat masuk ke berbagai bidang atau sistem misalnya seperti pendidikan, olahraga, kesehatan, perdagangan, dan masih banyak lagi. Sehingga ada istilah yang mengatakan bahwa “tidak ada celah yang menutup ruang untuk mencegah masuknya politik pada sebuah sistem di Indonesia.
Negara kita memang sama sekali tidak menganut sistem ekonomi politik, akan tetapi pemerintah yang berpolitik memiliki skala besar dalam menentukan kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Jika dilihat dari kekayaan alamnya maka Indonesia adalah negara yang kaya dan sudah sepantasnya negara yang kaya akan sumber daya alam masyarakatnya sejahtera. Berdasarkan penelitian yang diadakan oleh lembaga international bahwa Indonesia adalah negara terkaya kedua di dunia setelah Brazil untuk urusan sumber daya alamnya. Kemudian Indonesia juga mendapatkan peringkat ke-21 dari 210 negara dalam kontribusinya terhadap minyak bumi. Maka dari itu seharusnya tidak ada alasan lagi untuk tidak mengakui bahwa Negara Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya yang berlimpah. Akan tetapi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia sama sekali tidak memberikan efek bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sangatlah banyak masyarakat yang kaya karena pendapatannya yang diperoleh cukup banyak, akan tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang terlunta-lunta karena pendapatan yang diperoleh sangat tidak mencukupi kebutuhan mereka.
Sejak dahulu sering sekali muncul pertanyaan, “mengapa sering terjadi hal yang seperti ini?” mungkin jawaban yang paling tepat adalah sumber daya manusia belum mampu untuk mengolah secara keseluruhan sumber daya alam yang telah ada. Ada juga survei yang mengatakan bahwa Negara Indonesia termasuk dalam 9 besar negara yang memiliki mahasiswa terbanyak dan telah mengalahkan negara maju yaitu Amerika dan Jepang.
Pihak Negara memang tidak mengatur langsung perekonomian secara keseluruhan sesuai dengan pemahaman ekonomi politik, tetapi bangsa ini adalah bangsa yang mengatur kebijakan dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini juga menjadi pertanyaan besar terkait dengan kebijakan pemerintah. Banyak sekali kebijakan pemerintah yang secara fakta dapat dikatakan telah merugikan masyarakat Indonesia.
Satu contoh lagi ketika munculnya persoalan tentang mobil nasional. Begitu banyak alasan dan perdebatan yang berusaha untuk menolak produk anak bangsa menjadi produk unggulan di negara sendiri. Berbeda dengan negara tetangga yaitu negara Malaysia, sangat bangga dengan mobil proton yang mereka miliki. Dengan pendapat yang mereka ajukan untuk mengolah mobil nasional, padahal dengan munculnya gagasan untuk membuat produk mobil sendiri ini dapat dijadikan sebagai batu loncatan bagi bangsa indonesia untuk berkecimpung di dunia otomotif, untuk memperbaiki image bangsa dimata negara-negara lain yang selama ini telah menganggap bahwa negara Indonesia ini belum dikatakan baik.
Sebuah pertanyaan besar yang sering muncul adalah, apakah masalah perekonomian yang kita alami selama ini terjadi karena memang indonesia yang miskin ?? ataukah politik indonesia yang telah menjadikan negaranya sendiri sangat miskin. Kepentingan pribadi dan juga golongan pemerintah yang menjadikan politik sebagai solusi perekonomian yang berimbas buruk pada masyarakat Indonesia ini. Dengan demikian, sistem perpolitikan Indonesia yang multidimensi ini tidak mendukung berkembangnya perekonomian secara umum, dan salah satu faktor yang selalu menghambat berkembangnya ekonomi masyarakat Indonesia adalah sistem perekonomian yang diselimuti dengan sistem politik yang hanya berdampak pada para tokoh politik itu saja.
Oleh karena itu, Negara Indonesia adalah negara yang memiliki mekanisme politik yang sangat kompleks yang tidak berdampak baik pada perkembangan ekonomi negara ini. Bahkan pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam mengembangkan perekonomian bangsa Indonesia akan ikut serta  membantu para oknum didalam perjuangan politiknya. Saat ini politik tidak lagi berkontribusi pada ekonomi, akan tetapi ekonomi yang sekarang memiliki kontribusi nyata dalam perpolitikan bangsa Indonesia saat ini yang dijadikan sebagai pertahanan pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan politik mereka terhadap kehidupan ekonomi bangsa.


Indonesia Ngutang Luar Negeri (Lagi)



Utang luar negeri Indonesia semakin membengkak dan mengancam perekonomian negara kita. Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan mencatat, utang luar negeri Indonesia per Februari 2014 lalu mencapai US$ 272,1 miliar. Angka ini naik 7,45% ketimbang periode yang sama di 2013. Kenaikan utang luar negeri itu didorong peningkatan utang luar negeri sektor swasta yang melonjak signifikan. Per Februari 2014, utang luar negeri swasta mencapai US$ 143,07 miliar. Dibanding periode yang sama tahun 2013 lalu, nilai utang luar negeri swasta kita meningkat 11,68%.
Dalam tiga tahun terakhir, utang luar negeri swasta memang meningkat terjal. Yang mengkhawatirkan, sejak 2013 lalu, porsi utang swasta sudah melebihi utang pemerintah dan bank sentral. Porsi utang luar negeri swasta per Februari 2014 mencapai 52,58% dari total utang luar negeri Indonesia, sedangkan porsi utang luar negeri pemerintah 47,42%.
Pembengkakan utang tersebut juga tercermin pada rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2013, yang naik menjadi 30,35%. Angka tersebut sudah di atas rasio utang luar negeri terhadap PDB pada krisis keuangan 2008 lalu (30,1%).
Memang, rasio ini masih tergolong sehat karena masih di bawah batas aman rasio utang terhadap PDB di level 60%. Cuma, satu hal yang mencemaskan, indikator rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor alias debt service ratio (DSR) begitu tinggi. Rasio pembayaran utang luar negeri sepanjang 2013 tercatat sebesar 42,73%. Malah, jika dihitung per kuartal, DSR pada kuartal IV–2013 sempat menyentuh 52,7%. Artinya, lebih dari separuh penerimaan ekspor terpakai untuk membayar utang.
Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, mengatakan, kenaikan DSR memang patut diwaspadai. Apalagi, saat ini DSR sudah jauh di atas DSR pada saat krisis moneter 1998 lalu. Tahun 1997, rasio pembayaran utang luar negeri cuma sebesar 35% dari penerimaan ekspor kita. Menurut Mirza, pangkal pemburukan DSR ada dua: utang luar negeri yang terus bertambah dan laju ekspor yang menurun.
Source: KONTAN MINGGUAN 32 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Sampai Kapan Utang Luar Negeri Dibutuhkan
Mungkin yang menjadi pertanyaan para esseners adalah mengapa utang luar negeri dibutuhkan? Mengapa negara kaya akan SDA sepert kita masih tetap utang?. Karena bagi sebagian besar orang, utang luar negeri selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Bila utangnya meningkat, mereka menilai bahwa martabat negara semakin rendah karena ketergantungan terhadap luar negeri semakin besar. Karena itu membuat utang luar negeri menjadi nol atau tidak ada utang sama sekali, merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan. Tentu saja ide semacam sangat indah dan menarik semua orang, tetapi sebenarnya tidak realistis, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Memang benar bahwa dalam pembiayaan pembangunan, utang luar negeri hanya salah satu cara. Disamping itu masih ada cara lain yang bisa ditempuh yang bersumber dari dalam negeri, yakni mencetak uang baru atau penjualan obligasi pemerintah melalui pasar modal domestik. Namun perlu disadari bahwa masing-masing cara mempunyai kelebihan dan kekurangan dan dalam hal tertentu keharusan untuk memilih utang luar negeri tidak bisa dihindarkan. Utang luar negeri sering dipandang merugikan karena beberapa hal.Pertama dan yang mungkin paling utama, bahwa utang luar negeri menimbulkan beban pembayaran dimasa mendatang, baik yang berupa cicilan pokoknya ataupun cicilan bunganya. Ini berarti bahwa utang luar negeri pada akhirnya hanya menciptakan transfer kekayaan dari dalam negeri ke luar negeri.
Disamping itu, terutama untuk kasus Indonesia, pandangan negatif terhadap bantuan asing juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Dalam GBHN dijelaskan bahwa bantuan luar negeri sifatnya hanya pelengkap dan karena itu peranannya sedikit demi sedikit akan dikurangi. Tetapi dalam kenyataan, sejak berdirinya pemerintah orde baru, peranan bantuan luar negeri menunjukkan kecenderungan yang meningkat bahkan sejak tahun 1980-an semakin dominan.
Yang terakhir, pandangan negatif tersebut juga sering didramatisirkan oleh factor-faktor yang sifatnya tidak terduga, misalnya apresiasi nilai Yen terhadap dollar. Dengan meningkatnya nilai Yen, yang berarti untuk memperoleh sejumlah Yen yang sama diperlukan jumlah Dollar yang banyak, beban utang luar negeri semakin bertambah berat, karena beban itu semakin besar nilainya dalam Yen, sementara itu sebagian besar pendapatan devisa dari ekspor diterima dari dollar.
Sebenarnya yang menentukan perlu tidaknya utang luar negeri adalah jenis pembangunan yang akan dibiayai. Bila yang dibangun adalah proyek-proyek yang sarana pendukungnya sudah tersedia didalam negeri, maka bantuan luar negeri tidak dibutuhkan. Pendanaan yang bersumber dari dalam negeri sudah cukup. Bahkan pinjaman luar negeri akan berakibat negatif ganda. Pertama, utang luar negeri sudah menciptakan beban dimasa datang, dan kedua berpotensi besar untuk menciptakan inflasi. Yang terakhir ini benar karena untuk bisa digunakan dalam transaksi di dalam negeri, utang itu harus ditukar ke Bank Sentral untuk mendapatkan rupiah, yang berarti menambah uang beredar (uang primer). Ini sama saja dengan proses pencetakan uang baru.
Sebaliknya bila proyek yang dibangun itu membutuhkan komponen yang diimpor, utang luar negeri mutlak diperlukan, selama pemerintah tidak mempunyai devisa untuk membiayainya. Bila tidak, proyek tersebut tidak pernah akan terwujud. Dalam hal ini, pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri tidak mungkin dilakukan karena untuk mengimpor tidak bisa dilakukan dengan uang rupiah. Misalnya, pemerintah ingin memperbaiki SDM dengan mengirimkan karya siswa ke luar negeri, pembiayaan harus dilakukan dengan mata uang asing (devisa).
Dengan demikian jelas bahwa tidak dikehendaki tidak ada utang sama sekali, ada konsekuensi yang harus ditanggung, yakni pemerintah melalui perdagangan internasional harus mampu menciptakan surplus devisa yang terus menerus atau kalautidak, kita tidak usah membangun proyek-proyek yang membutuhkan komponen luar negeri. Nampaknya untuk saat sekarang keduanya sulit dipenuhi. Selama tidak dapat memenuhi satu dari dua konsekuensi tersebut, selama itu pula utang luar negeri tetap dibutuhkan.
Karena itu yang penting sebenarnya bukan perlu tidaknya utang luar negeri, tapi mampu tidaknya membayar utang yang dimiliki. Indonesia, Korea dan Malaysia juga termasuk pengutang berat. Meskipun utangnya besar tetapi bila mampu membayar akan lebih terhormat dari pada utang sedikit tetapi tidak mampu membayar. Sehingga inti persoalannya terletak pada penggunaan bantuan itu. Yang penting, bila sudah jatuh tempo, kita sudah menghasilkan devisa untuk melunasinya.
Lantas bagaimanakah dengan utang luar negeri yang dilakukan oleh pihak swasta. Untuk apakah utang tersebut. Alasan apa yang mendasari swasta memiliki porsi utang luar negeri lebih besar dibanding utang luar negeri pemerintah?. Satu alasan yang mendasar adalah karena bunga bank luar negeri rendah.
Chief economist at the Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa alasan swasta utang ke luar negeri karena bunga yang rendah adalah  hal yang lumrah dalam kacamata bisnis. Hal ini terjadi karena Bank Indonesia gagal menciptakan iklim berbisnis yang kompetitif.

Purbaya mengakui bila ada peningkatan utang swasta sebesar 12%. Lantaran perbankan Indonesia tidak lagi memberikan kemudahan dalam penyaluran kredit. Lagi pula perbankan banyak yang mengerem kredit. Utang swasta kini mencapai US$140 miliar. Tidak hanya sampai di situ, lanjut Purbaya, ketika suku bunga acuan Bank Indonesia naik, spontan suku bunga pinjaman terkerek naik. Namun akan susah turun jika suku bunga acuan mulai turun. Oleh karena itu, Bank Indonesia harus bercermin pada kenyataan tersebut. Setidaknya BI rate saat ini harus menyesuaikan dengan fundamental yang ada. (ed:666)