ASEAN Economic Community (AEC) akan menjadi
tujuan dari integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. “Proker” yang sudah dibahas
sejak tahun 2009 lalu itu tinggal sebentar lagi lho ya. Tujuan idealnya
tercetus sejak tahun 1997 yang tercermin dalam Visi ASEAN 2020 yaitu mewujudkan
kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi
yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan
sosial ekonomi.
Namun apakah cita-cita AEC tersebut dapat dengan mulusnya diterima masyarakat ? dengan adanya AEC ini mau tidak mau, suka tidak suka para pengusaha (terutama UMKM) pada 2015 harus ikut “bertarung” menghadapi liberalisasi dan integrasi ekonomi Asean. Padahal sebagian besar pengusaha UMKM belum mengetahui adanya AEC. Jika masyarakat pengusaha (menengah-kecil) saja tidak mengetahui akan ada economic border less country dalam bungkus AEC, apalagi masyarakat biasa yang nota bene nantinya bakal menjadi obyek pasar terbuka Asean. Sudahkah pemerintah memperhatikan masalah ini. Sementara 2015 sudah semakin dekat. Belum lagi pada 2014 masyarakat akan terkonsentrasi pada hiruk-pikuk pemilihan umum legislatif dilanjutkan pemilu presiden. Kesepakatan pelaksanaan AEC ini diikuti oleh 10 negara anggota Asean yang memiliki total penduduk 600 juta jiwa. Sekitar 43% jumlah penduduk itu berada di Indonesia. Artinya, pelaksanaan AEC ini sebenarnya akan menempatkan Indonesia sebagai pasar utama baik untuk arus barang maupun arus investasi. Dalam konteks arus barang, sudahkan barang-barang lokal nasional mampu bersaing melawan produk-produk unggulan dari Thailand, Vietnam, Filiphina, Brunei darussalam, dan Malaysia, baik dari sisi harga maupun kualitas.
Tentu saja selalu ada keuntungan yang didapat dengan adanya AEC bagi negara-negara anggotanya termasuk Indonesia. Pengusaha Indonesia dapat menawarkan barang produksinya tanpa harus ada syarat yang rumit. Para investor juga akan lebih tertarik unutk menanamkan investasi di Indonesia. Sosialisasi yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam konteks persiapan AEC hendaknya tidak semata mengenai cara-cara menembus pasar Asean, tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana pengusaha kita bisa bertahan di pasar lokal di tengah besarnya arus barang dari Asean. Pola-pola seperti MEE, misalnya penyatuan mata uang, harus dihindarkan dalam AEC.
Tidak perlu ada mata uang Asean
Dolar, atau bursa tunggal Asean Stock Market (Asean Stock Exchange). Tidak
perlu juga dibentuk Asian Interbank Spot Dollar Rate (Aisdor). Arahkan konsep
AEC sebagai sebuah komunitas ekonomi yang kuat saat menghadapi Jepang, Korea
dan India, misalnya. (rodiah)
sepertinya bisinis dibidang pangan dan agribisnis dapat diandalkan, asalkan revolusi pertanian dilakukan.
BalasHapusvisit my site : http://ravlikurniadi.student.ipb.ac.id/