Selasa, 16 Juli 2013

‘Simalakama’ Kebijakan Ujian Nasional

Evaluasi pengajaran sangat diperlukan dalam setiap kegiatan. Evaluasi pengajaran digunakan untuk menilai/menaksir pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam hukum baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Harjanto,2011:277). Secara garis besar dalam proses belajar mengajar, evaluasi mempunyai tiga fungsi pokok yaitu mengukur kemajuan dan perkembangan peserta didik, mengukur keberhasilan system pengajaran serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan.
Ujian Nasional (UN) dijadikan sebagai alat evaluasi pendidikan di Indonesia sesuai dengan Permendiknasbud RI Nomor 3 Tahun 2013  Bab I Pasal I Ayat 5. Kemudian dasar pijakan pelaksanaan Ujian Nasional tertera dalam PP 19/2005 Standar Nasional Pendidikan BAB X tentang standar Penilaian Pendidikan pasal 68. Pada pasal tersebut diputuskan bahwa hasil ujian nasional dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk ; pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sudah berlangsung sejak tahun 1965 (dahulu Ujian Negara-EBTANAS-UNAS), namun yang menjadi permasalahan adalah berlakunya target wajib belajar pendidikan dalam pelaksanaan Ujian Nasional sejak tahun 2005. Perubahan sistem Ujian Nasional ini membuat mindset pendidik dan peserta didik mengejar satu kata pragmatis : lulus. Dampaknya, proses belajar mengajar cenderung mengejar pencapaian sisi kognitif siswa dengan mengabaikan kategori tujuan lain dalam proses pendidikan yaitu ranah psikomotor dan ranah afektif.
Perdebatan mengenai keefektifan pelaksanaan Ujian Nasional belum menemukan titik terang dari tahun ke tahun. Suara pro datang dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan Ujian Nasional, ditambah dengan pihak-pihak tertentu yang sepaham dengan pemerintah. Sedangkan suara kontra  datang dari praktisi dan pakar pendidikan yang secara langsung terlibat dalam proses pendidikan. Dengan kata lain mereka adalah pihak yang mengelola dan mengalami secara langsung proses pendidikan serta pihak yang memahami permasalahan pendidikan.
Berikut merupakan argumen dari pihak pro mengenai pelaksanaan ujian nasional. Mereka beranggapan bahwa Ujian Nasional mengukur kualitas pendidikan secara nasional serta standarisasi pendidikan, pertama. Kedua, Ujian Nasional dapat memacu peserta didik, perangkat pendidikan serta pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ketiga, Ujian Nasional dijadikan kontrol pemerintah sejauh mana suatu sekolah itu telah menerapkan dengan baik program pendidikan nasional.
Sementara itu argumen dari pihak kontra adalah sebagai berikut. Pertama, Ujian Nasional tidak sejalan dengan ruh pendidikan. Ujian Nasional hanya mengajarkan peserta didik dan pendidik untuk berpikir pragmatis dan hanya mengedepankan ranah kognitif siswa dalam proses pendidikan. Padahal, menurut Bloom dkk (1952) dalam Harjanto (2011:59) ada tiga kategori tujuan dalam proses pendidikan yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Kedua, pelaksanaan Ujian Nasional bersifat kontraproduktif dengan pembentukan karakter siswa. Mata pelajaran pendidikan karakter seperti pendidikan agama, pendidikan kewarganegan dsb yang tidak di-UN-kan kurang menjadi fokus perhatian dalam proses pendidikan di sekolah. Ketiga, Ujian Nasional mengabaikan pendidik sebagai evaluator pendidikan karena pemerintah berperan mutlak dalam penentuan kelulusan. Keempat, standar nilai Ujian Nasional yang sama di seluruh Indonesia sementara terdapat perbedaan sarana prasarana, guru serta input yang signifikan.
Dari fenomena Ujian Nasional di atas, terlihat dengan sangat jelas wajah pendidikan kita. Masyarakat dapat melihat momentum pelaksanaan Ujian Nasional yang seringkali dijaga oleh pengawalan ketat petugas. Ini merujuk pada satu persepsi bahwa produk yang dihasilkan oleh pendidikan belum menciptakan manusia yang seutuhnya, manusia pun ternyata harus dijaga agar tidak berbuat curang dalam UN[1]. Proses pendidikan kita lah yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Tujuan pendidikan yang membuat orang menjadi baik dan orang baik berperilaku mulia seperti yang dikatakan Plato, belum dicapai oleh siswa. Kecurangan dan ketidaksiapan dalam mengikuti Ujian Nasional merupakan cerminan. Sehingga dapat diasumsikan bahwa potret pendidikan nasional bangsa kita telah gagal akibat ketidakpercayaan pemertintah atas proses pendidikan.
Penulis mendukung upaya pemerintah untuk memetakan kualitas pendidikan melalui Ujian Nasional. Tetapi penulis rasa penentuan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan perlu dikaji ulang. Pemetaan kualitas pendidikan dapat saja dilakukan tanpa mereduksi dan mengintervensi kelulusan siswa (thi).