Sebenarnya
aku sadar bahwa prasasti hidupku akan dimulai dari sini. Hari itu adalah hari
dimana seluruh lulusan sekolah menengah ataupun sederajat di Indonesia
mempertaruhkan mimpinya. Anehnya hari itu adalah hari dimana aku mengubah
haluan hidupku dan berspekulasi dengan masa depanku. Teman-temanku heran dengan
pilihanku bahkan keluargaku juga mempertanyakan pilihanku. Dalam hati aku hanya
menjawab, “Yang jelas aku mempunyai alasan dibalik pilihanku ini!” Bukan alasan
karena aku suka atau karena aku minat di jurusan itu ataupun di universitas
itu. Tepatnya karena saat itu aku merasa betapa kerdilnya menghadapi dunia. Oke
aku akui alasan itu adalah alasan paling pengecut yang pernah aku miliki. Tetapi,
inilah aku. Remaja kelahiran kota kripik yang menyandang nama “Unik Febrianti”
dengan alasan yang tidak masuk akal memutuskan untuk merantau dari desa ke kota
gudeg.
***
Lambat laun, ternyata satu tahun
telah berlalu di kota ini. Semua usahaku untuk menyesuaikan diri dan
menyeimbangkan ritme hidup baruku disini, di kota ini, di Universitas ini dan
di jurusan ini terbayar dengan mendapat IPK cumlaude.
Tetapi ternyata, aku tidak menemukan kebahagiaan yang sempurna dengan IPK cumlaude itu. Eiits . . . tetapi jangan
salah. Insya allah IPK itu barokah. Hanya saja aku berpikir ada banyak tanggung
jawab di balik IPK cumlaude itu.
Cukup ucapkan “alhamdulillah” dan selesailah bahagia hari itu. Saat itu juga, aku
baru sadar ternyata hatiku masih belum disini.
“Kalau aku pindah
jurusan gimana ya?pindah Universitas?”
“Hush ngomong apaan
aku! Emangnya duit tinggal ngreok* kaya
krikil!” (Semburat bahasa ngapak pun keluar dalam dialog negosiasi diriku).
“Tetapi gimana?
Hatiku belum disini! Huuuhh . . .”
“Ayolah bertahan
sedikit lagi kali aja kau akan temukan hatimu disini”
“Ya wis lah. Sega wis dadi bubur, siki gari kepriwe caraku bae gawe bubur kue dadi
bubur sing paling spesial,*”khas dengan logat medhoknya.
***
Dalam perjalanan menuju tahun
kedua kuliahku, dalam pencarian hatiku. Ada banyak hal baru, pengalaman baru,
cara pandang baru dan tujuan baru aku temukan disini. Oke ini tempatku
sekarang! Siapa aku bukan tergantung dimana aku, tetapi tergantung bagaimana
aku! Figthing! :D
***
Masih soal pencarian hati di kota
ini. Tetapi, kali ini lebih sensitif dan kompleks. Setelah curhatan-curhatan
yang aku hujamkan ke teman-teman dekatku. Berpuluh-puluh episod sampai mulutku berbuih. Hingga akhirnya, hari ini aku temukan
kenyataan yang menamatkan cerita-ceritaku. Menyesakkan dan cukup membuat
emosiku membuncah.
***
Pastilah
tau kan? Cukup klasik dan ketebak banget. Apalagi kalau bukan masalah cinta dan
hari itu aku membutuhkan teman untuk berbagi cerita. Aku pun mengunjungi salah
satu teman dekatku namanya Husna. Berharap banget dia bisa menghiburku. Setiba
disana.
“Kau tahu?”,
tanyaku pada Husna.
“Nggaklah orang
kamu ngga ngomong, mana aku tahu,” jawabnya datar.
“Iya juga sih. Kan ceritanya
biar suasananya terdramatisir,” jawabku polos.
“Ooh oke fine.
Perlu ku ulangin dialognya?” tanya dia dengan muka datarnya.
“Ngga usah deh,
ngga lucu juga”
“Terus mau curhat
apa?,” seakan hafal banget kalau aku doyan
curhat.
“Ngga jadi udahan
ah . . . “
“Serius nih? Ntar
nyesel loh?”
“Iya, aku pulang ya?
Bye . . .”
***
Setengah
lunglai aku menapaki jalan pulang. Tetapi, masih ada harapan di hatiku. Harapan
menemukan teman untuk berbagi cerita.
Ahaaa . . . aku tau!
(senyum nyengir menemukan mangsa).
“Lebih baik aku ke
tempat Diah aja ah.”
Setiba disana, “Huaaaa
. . . tau ngga Nik”
“Kenapa?,” tanyaku
heran.
“Uang bulananku
habis!”
“Terus?’Mau ku
pinjemin uang?”
“Mau banget. Aku
lagi butuh banget nih. Boleh ya?” (Transaksi pun akhirnya berlangsung)
“Ini nih tingkah
sok baikku yang terkadang malah merepotkan diri sendiri,” gumamku dalam hati.
“Kamu ada perlu apa
kesini, Nik?”
“Ngga ada apa-apa. Yaudah
aku pulang yah, jangan boros-boros,” nasehatku setengah hati.
“Huuh. . . ngga ada
yang ngerti hatiku nih,” keluhku setengah putus asa.
“Aku kan mau curhat.
Eeehh aku malah dijutekin dan yang kedua aku malah mendadak jadi tukang kredit.”
“Hmm . . . ayo
berpikir keras,” kataku dalam hati.
“ Oiya masih ada
Nanda!” setiba di kos Nanda.
“Kebetulan banget Nik kamu datang kesini,”
sambutnya penuh senyum mencurigakan.
“Sepertinya ada
yang tidak beres nih. Haduh kali ini apalagi?,” kataku dalam hati.
“Anterin aku ke
toko buku sekaligus belanja bulanan yuk? Bentar aku ambil helm dulu.”
“Tuhh . . .kan
bener. Tanpa ba-bi-bu. Tanpa jawaban dariku. Dia langsung main action aja. Betapa kecunya hatiku,”
kutukku dalam hati.”
Setelah selesai
semua urusannya dan tetap saja urusan pencarian tempat curhatku belum
terselesaikan. Aku pun memutuskan bahwa pencarian tadi adalah pencarian
terakhirku seusai menjadi tukang ojek untuk temanku. Aku pun pulang dengan langkah
terseok.
***
Setiba di kos, kurebahkan
tubuhku di pembaringan. Hatiku panas dan menguaplah semua emosiku. Bak siklus
hujan ada evaporasi, kondensasi dan akhirnya hujan alias nangis mewek-mewek. Setelah puas menangis.
Negosiasi diripun terjadi.
“Apaan sih. Ngga
penting banget aku nangis!”
“Siapa dia? Ngapain
juga aku nangisin dia!
“Apa untungnya
buatku” (Kapitalis banget nih :D)
“Cukup sampai
disini main layang-layangnya!”
“Cukup. Sudah cukup
dia menarik ulur hatiku!”
“Udahan aah, sholat
dulu!” (beranjak dan mengambil air wudhu).
Dan masih dalam
keadaan bersimpuh lengkap dengan kedamaian seusai sholat. Aku mewek lagi. “Huaaaaa
. . .”
“Ternyata DIA yang
aku butuhkan dan pencarian hatiku pun aku putuskan untuk ku sandarkan pada-NYA”
***
Sangat yakin akan ku
temukan hatiku di kota ini, di Universitas ini, di jurusan ini. Hanya disini.
Hanya yakin, yakin, yakin, yakin, . . . dan yakin yang menguatkanku dan akan menemani
pertahananku sampai akhir. Hari ini juga adalah hari dimana aku memutuskan
bahwa disini dan saat inilah titik nolku akan ku telusuri. Masih banyak dan
perlu banyak belajar lagi tentang hidup termasuk atmosfer di dalamnya cinta,
mencintai dan dicintai. Sangat yakin kota ini akan menahan hatiku dan
memberikan sejuta alasan untuk ku bertahan disini.
*duit tinggal ngreok = uang tinggal ngambil
Ya wis lah =ya sudah lah
Sega wis
dadi bubur = nasi sudah menjadi bubur
siki gari kepriwe carane nyong bae gawe bubur
kue dadi bubur sing paling spesial = sekarang tinggal
bagaimana caraku saja membuat bubur itu menjadi bubur yang paling spesial.
(Based on true story from 'unik')