Pertentangan tentang
siapa operator yang selanjutnya akan memegang sumur gas dan minyak Blok Mahakam
Kalimantan Timur, semakin menarik untuk diamati. Kontrak Kerja Sama (KKS) yang
akan berakhir pada 31 Maret 2017 itu kini menuai banyak permasalahan dan kasus.
KKS pertama kali
ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada 31 Maret 1997 dengan Total E&P Indonesie (Perancis) dan Inpex
Corporation (Jepang) untuk jangka waktu 30 tahun, yaitu sampai dengan 31 Maret
1997. Kemudian KKS kembali diperpanjang selama 20 tahun hingga kontrak akan
berakhir pada tanggal 31 Maret 2017 nanti. Berdasarkan kontrak tersebut pula,
Executive Vice President Exploration & Production Total SA, Christophe de
Margerie, pada Juni 2007 telah mengajukan perpanjangan kedua kontrak Blok
Mahakam kepada Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro. Namun pada waktu itu Menteri
ESDM menolak untuk membicarakan kontrak karena dirasa masih terlalu dini.
Pada 2008,
berdasarkan ayat 9 Pasal 28 PP No.35/2004 tentang hak Pertamina untuk
mengajukan permohonan mengelola Wilayah Kerja yang habis masa kontrak,
Pertamina menyatakan ketertarikkannya untuk mengelola Blok Mahakam. Sejak saat
itu, pihak Pertamina dengan gencar menyatakan ketertarikan tersebut hingga
September 2012. Namun hingga saat ini pemerintah masih belum memutuskan siapa
yang akan menjadi operator selanjutnya untuk mengelola Blok Mahakam.
Dampak Jatuhnya Mahakam ke Tangan Asing
Saat ini sangat
banyak organisasi masyarakat yang menentang keras perpanjangan kontrak Blok
Mahakam kepada pihak asing. Hal tersebut tentunya tidak terjadi tanpa adanya
dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Blok Mahakam pada
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Salah satu gerakan
yang ikut andil menentang perpanjangan kontrak tersebut adalah Gerakan Nasional
untuk Blok Mahakam (GNBM). Koordinator Gerakan Nasional untuk Blok Mahakam A
Rivai AG menjelaskan selama Total dan Inpex menjadi pengelola Blok Mahakam,
rakyat Kalimantan Timur tidak mendapat dampak positifnya secara maksimal.
Selain masyarakat harus antre dalam membeli bahan bakar minyak (BBM),
masyarakat di area sekitar Blok Mahakam juga tidak sejahtera. Memang pihak
Total dan Inpex telah memberikan dana tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate social responsibility/CSR). Namun jumlahnya tidak signifikan
karena masyarakat juga tidak mendapat dampak positifnya.
Selain dari segi
sosial masyarakat, jatuhnya Blok Mahakam ke tangan asing juga dapat kita amati
dari segi ekonomi. Blok Mahakam hingga saat ini memiliki rata-rata produksi
sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27
triliun cubic (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf)
cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar 100 miliar dollar
AS. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf dengan harga gas yang terus
naik, Blok Mahakam berpotensi pendapatan kotor 187 miliar dollar AS atau
sekitar Rp 1,7 triliun. Terbayanglah berapa triliun sesungguhnya kerugian yang
sebenarnya kita alami dengan jatuhnya Blok Mahakam ke tangan asing.
Kesiapan dan Ketidakyakinan Pemerintah
Kebutuhan untuk
melakukan pengelolaan blok Mahakam, tidak hanya kepemilikan secara financial,
tetapi juga kemampuan sumberdaya manusia dan teknologi untuk melakukan
eksplorasi dan ekspoloitasi tambang migas ini.
Sikap pemerintah yang
terjebak pada dua rumusan diatas, ternyata memiliki sikap pesimistik dan
ambivalen terhadap kemampuan Perusahaan Nasional, khususnya terhadap Pertamina
sebagai perusahaan Migas yang leading pada sektornya.
Sikap ini disampaikan
melelui Menteri ESDM RI, atas kekhawatirannya terhadap realitas dilapangan
bisnis migas di Blok Mahakam, dimana perkiraannya memberikan pernyataan bahwa
kebutuhan pengeloaan blok Mahakam tidak hanya kemampuan finasial, namun juga
sumberdaya manusia dan teknologi.
Sementara Pertamina
melalui Dirutnya menyatakan kesiapannya bila harus mengambil alih blok
terserbut. Dengan asumsi bahwa pertamina telah memiliki pengalaman dalam
melakukan akuisisi terhadap perusahaan tambang seperti yang dilakukan pada
perusahaan Medco di (Blok) Sanga-Sanga dan ONWC.
Mengukur kekuatan
Pertamina untuk mengambil alih blok Mahakam tidak 100%, hal ini terkait dengan
kemampuan perseroan. Namun demikian harapan Pemerintah agar pertamina
mendapatkan jatah hingga mencapai 40% semestinya sudah menjadi titik terang,
agar negoisasi dengan kedua pengelola raksasa ini segera bisa diambil keputusan
oleh Pemerintah selaku penguasa, sekarang persoalan berikutnya menunggu sampai
kapan lagi, agar keputusan ini dapat memberikan jawaban atas segenap tuntutan
rakyat, khususnya bagi masyarakat Kaltim.
source: