Evaluasi pengajaran sangat
diperlukan dalam setiap kegiatan. Evaluasi pengajaran digunakan untuk
menilai/menaksir pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan dalam hukum baik secara kualitatif maupun kuantitatif
(Harjanto,2011:277). Secara garis besar dalam proses belajar mengajar, evaluasi
mempunyai tiga fungsi pokok yaitu mengukur kemajuan dan perkembangan peserta
didik, mengukur keberhasilan system pengajaran serta sebagai bahan pertimbangan
dalam melakukan perbaikan.
Ujian Nasional (UN) dijadikan
sebagai alat evaluasi pendidikan di Indonesia sesuai dengan Permendiknasbud RI
Nomor 3 Tahun 2013 Bab I Pasal I Ayat 5.
Kemudian dasar pijakan pelaksanaan Ujian Nasional tertera dalam PP 19/2005
Standar Nasional Pendidikan BAB X tentang standar Penilaian Pendidikan pasal
68. Pada pasal tersebut diputuskan bahwa hasil ujian nasional dijadikan sebagai
salah satu pertimbangan untuk ; pemetaan mutu program dan/atau satuan
pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan
kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan dan pembinaan
dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan.
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
sudah berlangsung sejak tahun 1965 (dahulu Ujian Negara-EBTANAS-UNAS), namun
yang menjadi permasalahan adalah berlakunya target wajib belajar pendidikan
dalam pelaksanaan Ujian Nasional sejak tahun 2005. Perubahan sistem Ujian
Nasional ini membuat mindset pendidik
dan peserta didik mengejar satu kata pragmatis : lulus. Dampaknya, proses
belajar mengajar cenderung mengejar pencapaian sisi kognitif siswa dengan
mengabaikan kategori tujuan lain dalam proses pendidikan yaitu ranah psikomotor
dan ranah afektif.
Perdebatan mengenai keefektifan
pelaksanaan Ujian Nasional belum menemukan titik terang dari tahun ke tahun.
Suara pro datang dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan Ujian Nasional,
ditambah dengan pihak-pihak tertentu yang sepaham dengan pemerintah. Sedangkan
suara kontra datang dari praktisi dan
pakar pendidikan yang secara langsung terlibat dalam proses pendidikan. Dengan
kata lain mereka adalah pihak yang mengelola dan mengalami secara langsung
proses pendidikan serta pihak yang memahami permasalahan pendidikan.
Berikut merupakan argumen dari
pihak pro mengenai pelaksanaan ujian nasional. Mereka beranggapan bahwa Ujian
Nasional mengukur kualitas pendidikan secara nasional serta standarisasi
pendidikan, pertama. Kedua, Ujian Nasional dapat memacu
peserta didik, perangkat pendidikan serta pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Ketiga, Ujian
Nasional dijadikan kontrol pemerintah sejauh mana suatu sekolah itu telah
menerapkan dengan baik program pendidikan nasional.
Sementara itu argumen dari pihak
kontra adalah sebagai berikut. Pertama,
Ujian Nasional tidak sejalan dengan ruh pendidikan. Ujian Nasional hanya
mengajarkan peserta didik dan pendidik untuk berpikir pragmatis dan hanya
mengedepankan ranah kognitif siswa dalam proses pendidikan. Padahal, menurut
Bloom dkk (1952) dalam Harjanto (2011:59) ada tiga kategori tujuan dalam proses
pendidikan yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Kedua, pelaksanaan Ujian Nasional
bersifat kontraproduktif dengan pembentukan karakter siswa. Mata pelajaran
pendidikan karakter seperti pendidikan agama, pendidikan kewarganegan dsb yang
tidak di-UN-kan kurang menjadi fokus perhatian dalam proses pendidikan di
sekolah. Ketiga, Ujian Nasional
mengabaikan pendidik sebagai evaluator pendidikan karena pemerintah berperan
mutlak dalam penentuan kelulusan. Keempat,
standar nilai Ujian Nasional yang sama di seluruh Indonesia sementara terdapat
perbedaan sarana prasarana, guru serta input yang signifikan.
Dari fenomena Ujian Nasional di
atas, terlihat dengan sangat jelas wajah pendidikan kita. Masyarakat dapat
melihat momentum pelaksanaan Ujian Nasional yang seringkali dijaga oleh
pengawalan ketat petugas. Ini merujuk pada satu persepsi bahwa produk yang
dihasilkan oleh pendidikan belum menciptakan manusia yang seutuhnya, manusia
pun ternyata harus dijaga agar tidak berbuat curang dalam UN[1].
Proses pendidikan kita lah yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Tujuan pendidikan yang membuat orang menjadi baik dan orang baik berperilaku
mulia seperti yang dikatakan Plato, belum dicapai oleh siswa. Kecurangan dan
ketidaksiapan dalam mengikuti Ujian Nasional merupakan cerminan. Sehingga dapat
diasumsikan bahwa potret pendidikan nasional bangsa kita telah gagal akibat
ketidakpercayaan pemertintah atas proses pendidikan.
Penulis mendukung upaya
pemerintah untuk memetakan kualitas pendidikan melalui Ujian Nasional. Tetapi
penulis rasa penentuan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan perlu dikaji
ulang. Pemetaan kualitas pendidikan dapat saja dilakukan tanpa mereduksi dan
mengintervensi kelulusan siswa (thi).